Senin, 16 November 2009

KENIKMATAN INDERA DAN AKAL

Kenikmatan itu ada dua macam, kenikmatan indera dan kenikmatan akal. Puncak kenikmatan inderawi adalah nikah, sedangkan puncak kenikmatan akala adalah ilmu. Barang siapa yang mencapai dua hal tersebut di dunia, berarti dia telah mencapai kedua puncak. Tanda-tanda orang yang akan mendapat puncak itu (terutama ilmu) telah tampak sejak ia masih kecil. Ia memiliki semangat yang tinggi untuk selalu mencari hal-hal yang paling baik. 

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Abdul Muthalib kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam yang saat itu meupakan pemuka Quraisy yang paling dihormati, selalu duduk di atas permadani yangh sangat indah tatkala mengadakan pertemuan-pertemuan dengan suku Quraisy. Saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam yang masih kecil, telah duduk pula di atas permadani itu. Ketika melihat hal tersebut Abdul Muthalib berkata,”Cucuku ini pasti akan mengemban sesuatu yang besar.” 

Jika ada orang berkata,”Jika aku memiliki keinginan yang kuat, namun tetap saja tidak dikaruniai rezeki, lalu apa alasannya?”Saya akan menjawabnya,”Jika rezeki itu tak didapat dari satu jalan, maka pasti bisa diperoleh dari jalan lain.” 

Yang pasti, jika Anda dikaruniai keinginan yang keras, tidak mungkin Allah menyia-nyiakan usaha Anda. Jika demikian halnya, lihatlah ke dalam diri Anda sendiri. Mungkin Anda dikaruniai sesuatu namun tak mensyukurinya atau dicoba oleh-Nya dengan godaan hawa nafsu namun tak sanggup mencegahnya. 

Ketahuilah bisa saja Anda tidak dikaruniai kenikmatan dunia yang banyak agar bisa menikmati kelezatan ilmu, karena Allah memandang Anda lemah dalam hal mengumpulkan harta. Yakinlah bahwa Dia Mahatahu yang terbaik untuk diri Anda. 

Saya ingin menegaskan bagi pemuda yang baru menuntut ilmu, hendaklah mereka mempelajari berbagai macam ilmu meskipun sedikit. Jadikanlah ilmu fikih sebagai pilihan utama. Janganlah mencukupkan diri dengan hanya mengetahui teks saja tanpa pemahaman yang mendalam. Dengan ilmu fikih akan tampak jelas jejak sejarah orang-orang yang sempurnahidup dan akhlaknya. Andaikata para pemuda itu para pemuda itu dikaruniai retorika yang mantap dan bisa menguasai kelihaian berbahasa, maka mereka telah benar-benar bisa mengasah lisannya dengan senjata yang sangat ampuh. Tatkala mereka berhasil menunaikan ilmu-ilmunya untuk sampai kepada Yang Hak dan pengabdian kepada Allah, maka pasti akan dibukakan baginya pintu yang tidak akan dibuka bagi selain dirinya. Selain itu, wajib pula bagi mereka untuk menyisihkan sebagian umurnya untuk mencari nafkah dan harta serta berdagang dengan cara yang professional. Dengan itu, mereka bisa hidup secara wajar. Ingat, janganlah sekali-kali hidup boros. 

Ketahuilah, ilmu dan amal akan mengantarkan kita kepada pengenalan (ma’rifat) akan Allah yang sebaik-baiknya. Dampaknya, berbagai kesempatan dan kenikmatan yang selalu menggoda akan dapat kita bendung dengan mudah. Alangkah bahagianya jiwa yang selamat dari berbagai macam penyakit.

Sabtu, 14 November 2009

Saudariku! Apa yang menghalangimu berhijab

Manusia diciptakan oleh Allah dengan sarana untuk meniti jalan kebaikan atau jalan kejahatan. Allah memerintahkan agar kita saling berwasiat untuk mentaati kebenaran, saling memberi nasihat di antara kita dan menjadikannya di antara sifat-sifat orang yang terhindar dari kerugian. 
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al 'Ashr, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa kewajiban kita terhadap sesama adalah saling menasihati. 
Beliau bersabda: 
"Orang mukmin adalah cermin bagi orang mukmin lainnya " (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam "Al Autsah" dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shah Jami'ush Shaghir, hadits no. 6531) 
Dengan kata lain, seorang mukmin bisa menyaksikan dan mengetahui kekurangannya dari mukmin yang lain. Sehingga ia laksana cermin bagi dirinya. Tetapi cermin ini tidak memantulkan gambar secara fisik melainkan memantulkan gambar secara akhlak dan perilaku. Islam juga --sebagaimana dalam banyak hadits—menganjurkan dan mengajak pemeluknya agar sebagian mereka mencintai sebagian yang lain. Di antara pilar utama dari kecintaan ini, hendaknya engkau berharap agar saudaramu masukSurga dan dijauhkan dari Neraka. Tak sebatas berharap, namun engkau harus berupaya keras dan maksimal urituk menyediakan berbagai sarana yang menjauhkan saudaramu dari hal-hal yang membahayakan dan merugikannya, di dunia maupun di akhirat 
Hal-hal di atas itulah yang melatar belakangi buku sederhana ini kami hadirkan. Selain itu, kecintaan dan rasa kasih sayang kami kepada segenap remaja puteri di seluruh dunia Islam. Tentu,juga keinginan kami untuk menjauhkan mereka dari bahaya dan kerugian di dunia maupun di akhirat.

Penjelasan Tentang Cairan Berwarna Kuning dan Cairan Keruh Serta Hukumnya, Juga Tentang Cairan Putih (Keputihan)

Tanya : 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Kami mohon Anda berkenan menerangkan kepada kami tetang cairan berwarna kuning dan cairan keruh, apakah hukumnya sama dengan hukum darah haidh? Lalu apakah cairan putih itu? Apakah seorang wanita harus mengetahui berakhirnya darah tersebut, kemudian setelah itu apakah ia di-wajibkan mandi (bersuci) atau tidak? 

Jawab : 

Cairan berwarna kuning dan keruh adalah jenis cairan yang keluar dari seorang wanita dan dapat berubah warna menjadi cairan keruh, itu serupa dengan air sisa pembersih daging, merah akan tetapi merahnya tidak begitu jelas, sementara cairan kuning adalah cairan yang berwarna kuning yang terkadang cairan itu keluar dari seorang wanita, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini hingga terdapat lima pendapat, akan tetapi pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa jika cairan itu keluar setelah habisnya masa haidh dalam jarak yang tidak begitu jauh dengan terhentinya darah haidh maka berarti cairan itu termasuk dalam kategori haidh (dikenakan hukum haidh), jika keluarnya cairan itu tidak setelah habisnya masa haidh, yakni berselang beberapa waktu dari waktu berhentinya masa haidh, maka cairan itu tidak termasuk dalam kategori darah haidh (tidak dikenakan hukum haidh). Adapun mengenai cairan putih, maka yang dimaksud dengannya adalah jika seorang wanita menggunakan kapas atau pembalut di tempat keluarnya cairan itu, lalu cairan itu tidak berubah dan tetap keluar dengan warna putih, maka itulah yang dinamakan dengan cairan putih, dan jika cairan putih itu berubah warna maka ini adalah merupakan bukti bahwa darah haidh belum berhenti. 

Sebagian kaum wanita ada yang tidak mengeluarkan cairan putih ini akan tetapi kebiasaannya adalah mengeluarkan cairan yang berwarna keruh pada masa antara satu masa haidh dengan masa haidh lainnya, jika demikian ber-arti cairan keruh ini merupakan tanda berhentinya darah haidh dan mulainya masa suci walaupun ia tetap mengeluarkan cairan berwarna kuning, karena wanita ini tidak biasa mengeluarkan cairan putih. Pada kenyataanya, terkadang permasalahan seputar haidh merupakan permasalahan yang masih samar-samar karena beragamnya peristiwa yang dialami kaum wanita, akan tetapi haidhnya wanita yang alami (yang menjalani hidup dengan normal) tidak mengalami kejanggalan. 

Kejanggalan pada masalah haidh ini lebih banyak terjadi pada kaum wanita yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, yakni berupa tablet-tablet yang biasa dikonsumsi oleh sebagian wanita. Sebenarnya, obat-obatan itu di samping dapat membahayakan rahim, juga dapat menimbulkan banyak kejanggalan haidhnya wanita yang meng-konsumsinya, juga dapat membingungkan orang-orang yang dimintai fatwa tentang hal ini. Karena itu, saya memperingatkan kepada kaum wanita untuk tidak menggunakan pil-pil semacam ini, apalagi para wanita yang belum bersuami, karena sebagian dokter telah mengatakan kepada saya, bahwa menggunakan pil-pil ini dapat menyebabkan kemandulan bagi kaum wanita yang mengkonsumsinya. Logikanya, tidak diragukan lagi, bahwa mencegah sesuatu yang alami dapat menimbulkan suatu kejanggalan yang tidak alami. 

Darah haidh adalah darah yang alami, jika seorang wanita mengkonsumsi suatu pil untuk menghambat keluarnya darah haidh yang alami ini, maka sudah pasti pil tersebut akan menimbulkan efek buruk pada tubuh, karena obat tersebut berusaha untuk menyimpangkan sesuatu yang alami yang telah ditetapkan Allah pada tubuh wanita. Maka sekali lagi saya peringatkan, hen-daknya para wanita tidak mengkonsumsi pil-pil semacam itu. 
( Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/285 )

Nabiku BUKAN Muhammad bin Abdul Wahhab ! (Kisah Debatnya Syaikh Asy-Syinqithi) Rabu, 26 Agustus 09

Ini adalah kisah perdebatan yang terjadi secara spontanitas antara Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah (dari Mauritania) –penulis kitab Tafsir Adhwa’ Al-Bayan- yang wafat pada tahun 1393 H bersama salah seorang ulama Al-Azhar yang mengajar di Ma’had Al-Ilmi di Riyadh, di hadapun Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu. Kisah ini menunjukkan kepribadian seorang ulama salafi yang cerdik, pemberani dan anti taqlid. Sekaligus menunjukkan bahwa para ulama ahlus sunnah kepentingannya adalah mencari dan membela kebenaran, meski kebenaran itu berseberangan dengan pendapat dan fatwa guru dan leluhurnya. 


Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Amin bin Ahmad Asy-Syinqithi menceritakan kisah ini dalam kitabnya yang berjudul ‘Majalis Ma’a Fadhilah asy-Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna Asy-Syinqithi’. Penulis bercerita: Saya diberitahu oleh guru saya Syaikh Muhammad al-Amin al-Jakna asy-Syinqithi, beliau berkata: 

“Ketika aku keluar dari kelas, sehabis mengajar materi tafsir, aku memasuki ruang istirahat para mudarris. Saat itu dua Syaikh; yang mulia Syaikh Muhammad bin Ibrahin bin Abdul Lathif Alu Asy-Syaikh dan saudaranya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Ibrahim sedang berada diruang istirahat tersebut, yang pertama adalah mufti Kerajaan Saudi Arabia dan yang kedua adalah DirekturUmum untuk Ma’ahid dan Kulliyaat. Ketika aku memasuki ruang istirahat para mudarris tiba-tiba seorang mudarris dari al-Azhar Mesir berkata, “Hai orang Syinqith aku dengar kamu menetapkan dalam pelajaran dikelas bahwa neraka itu abadi dan siksanya tidak akan berkesudahan?!”. 

Aku jawab, “Ya.” 

Dia berkata, “Bagaimana engkau rela untuk dirimu, hai orang Syinqith! Engkau mengajarkan kepada anak-anak kaum muslimin bahwa neraka itu abadi dan adzabnya tiada henti, sementara Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab keduanya menetapkan bahwa neraka itu akan padam dan dari dasarnya akan tumbuh sayur Jirjir?!!”. 


Aku waktu itu masih baru saja meninggalkan suasana padang pasir Mauritania, maka aku marah jika dibuat marah, maka aku katakan, “Hai orang Mesir! Siapa yang mengabarkanmu bahwa Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani bernama Muhammad bin Abdul Wahhab?!! Sesungguhnya Nabi yang diutus kepadaku dan yang wajib aku imani namanya Muhammad bin Abdullah, yang dilahirkan di Makkah bukan dilahirkan di Huraimla, dikubur di Madinah bukan dikubur di Dir’iyyah, dia datang dengan membawa kitab namanya al-Qur’an, dan al-Qur’an itu aku bawa diantara dua lempengku. Dialah yang wajib diimani. Ketika aku amati ayat-ayatnya aku dapatkan bahwa seluruh ayat-ayatnya sepakat bahwa neraka itu abadi, dan adzabnya tidak akan pernah berhenti. Aku ajarkan hal itu kepada anak-anak kaum muslimin karena para wali mereka mempercayakan pengajarannya kepadaku. Kamu dengar itu wahai orang Mesir ?!!”. 


Maka yang mulia Syaikh Mufti Muhammad bin Ibrahim berkata, “Apa yang kamu katakan?” 

Maka yang mulia kemudian berkata, “Semoga Allah memperpanjang usiamu, darimu kami mengambil pelajaran.” 

Syaikh Amin Asy-Syinqithi berkata, “Sesungguhnya saya mengatakan apa yang telah saya katakan setelah saya menelaah dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menetapkan madzhab Syaikhnya.” Dan setelah Syaikh menyebut dalil-dalilnya dari al-Qur’an dan Sunnah yang datang dalam tema ini dan setelah meluruskan semua syubhat yang dikemukakan oleh pengikut pendapat kedua yang sulit disebutkan dalam kesempatan yang singkat ini, dan mungkin merujuk kembali kepada kitabnya. 


Maka berkatalah Syaikh Mufti: Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu Asy-Syaikh, “Hai Abdul Lathif (maksudnya saudaranya sendiri yang menjadi direktur umum lembaga-lembaga pendidikan dan fakultas), rujuk kepada yang benar (al-haqq) adalah lebih baik dari pada terus menerus dalam kebathilan. Dari sekarangtetapkan bahwasanya neraka adalah abadi (kekal) dan adzabnya tiada henti, dan bahwasanya dalil-dalil yang dimaksud itu adalah jurang neraka yang dikhususkan untuk ahli maksiat dari kalangan orang-orang mukmin.” 


Para pembaca yang mulia, begitulah dada para ulama begitu lapang untuk meninggalkan kesalahan dan menerima kebenaran kapan saja kebenaran itu datang kepadanya. (Majalah Mingguan Al-Furqan, edisis 468, 16 Dzul Qa’dah 1328 H, halaman 34-35) 


Perlu diketahui bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak pernah menyatakan kefanaan neraka, malah yang ada dia menyatakan kekekalan beberapa makhluk seperti surga, neraka dan arsy dan lain-lain. Dan dia mengatakan bahwa ini adalah aqidah kaum salaf, para imam serta seluruh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sementara Ibnul Qayyim rahimahullah membahas pendapat kekekalan atau kefanaan neraka panjang lebar dalam kitabnya ‘Hadil Arwah Ila Biladil Afrah’ 43-80. Sedangkan dalam 4 kitabnya beliau meyakini kekalnya neraka, yaitu, ‘Ar-Ruh, Manzumah al-Kafiyah ash-Shafiyah, al-Wabil as-Shayyib, Muqaddimah Zadil Ma’ad. (silahkan baca Pengantar Syaikh al-Albani untuk kitab Raf’ul Atsar Li Ibthal al-Qaul bi Fana’ an-Nar, karya Syaikh Muhammad bin Amir ash-Shan’ani). 


Sementara untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kami belum bisa memberi komentar. Insya Allah di lain waktu, namun menurut syaikh Mamduh, itu hanya dinisbatkan oleh sebagian orang tanpa ada buktinya. Seandainya pun benar, maka komentar Syaikh Syinqithi atas tuduhan guru Azhari itu sudah cukup. Wallahu A’lam. 


Sumber : Dinukil dari Majalah Qiblati edisi 06 tahun III bulan Maret 2008 M / Shafar-Rabi’ul Awwal 1429 H. (hal : 98).